Mendengar nama Nisam Antara, menarik untuk aku mencoba melangkahkan kaki ke sana. Apalagi, kalau mendengar cerita saat konflik masih berkecamuk. Menurut orang-orang di kecamatan tersebut basis pergerakan petinggi GAM di sana.
Nah, aku punya cerita unik dari sana ketika masih konflik dulu. Alkisah, Apa Ma’e yang sehari-harinya petani kebun yang diwarisi dari orangtuanya, setiap hari hanya mengandalkan ototnya untuk mengasapi dapurnya. Dia bertani di sepetak tanah.
Suatu hari, ketika pulang dari kebunnya, dari kejauhan Apa Ma’e melihat serdadu berjalan berlawanan arah dengan dia. Karena takut ditanya tidak bisa menjawab, karena dia sadar bahasa Indonesianya tak karuan, Apa Ma’e berhenti di kebun pisang tetangga kebunnya.
Dia pura-pura sibuk membersihkan batang pisang tersebut. Kepalanya terus melongok ketas melihat-lihat buah pisang ketika satu dua serdadu melewatinya. Namun, serdadu yang kesekian menyapa Apa Ma’e.
“Sedang apa, Pak?” tanya serdadu.
“Panen pisang,” sahut apa Ma’e singkat.
“Oo.. kok bapak lihat ke atas terus, ada apa?”
“Kepala mu besar sekali, Pak,” jawab Apa Ma’e.
Serasa tidak yakin dengan jawaban Apa Mae, serdadu tadi bertanya ulang “Apa?!”
“Kepala mu besar, Pak,” jawab Apa Mae kembali yang sontak saja membuat serdadu itu spaning. Naas bagi Apa Ma’e hari itu. Dia dihadiahi tendangan pukulan bertubi sampai pingsan. Dia juga digiring serdadu ke pos.
Mendengar Apa Ma’e ditangkap serdadu, keesekan harinya kepala kampung mendatangi pos serdadu yang menggiring Apa Ma’e. Sesampainya di sana, kepada kampong menanyakan alasan apa Ma’e ditahan. Setelah mendapat penjelasan dari pihak serdadu, kepala kampong malah tertawa yang nyaris saja dirinya mengalami musibah yang sama seperti Apa Ma’e.
Untungnya, kepala kampong cepat menguasai suasana sehingga dengan sigap dia membetulkan duduknya. Lalu, menjelaskan kepada serdadu bahwa yang dikatakan Ma’e dengan kepala mu itu adalah tandan pisang. “Kepala mu besar artinya kepala tandas besar, Pak,” ujar kepala kampong. Setelah itu, Apa Mae dibebaskan.
Itulah salah satu persoalan bahasa. Hingga sekarang peristiwa itu mendatangkan trauma mendalam dan kepanjangan pada diri Apa Ma’e. Apa Ma’e dan masyarakat perdalaman di sana akhirnya sangat bersyukur dengan damai di Aceh. Mereka berharap peristiwa seperti dialami Apa Ma’e tidak lagi terjadi pada masa sekarang, masa Aceh sudah damai, meskipun Nisan Antara masih mencekam. Dan entah sampai kata “Mencekam” dari Nisam dapat hilang. Apa Ma’e belum dapat jawaban…[]