Perilaku

KATA Lem Cut suatu pagi, “NGO-NGO luar negeri telah datang membawa perubahan. Dan itu memang menyehatkan. Tetapi satu unsur kenikmatan kami sudah berkurang. Sekarang yang paloe-nya adalah, mau kembali bagai dulu kita sudah malu.”

“Lho, sepagi ini apa pula yang kamu omelkan itu Lem?” tanya temannya Wak John. Bule paruh baya ini berasal dari Australia. Semasa tugas kemanusiaan di Aceh, dia masuk islam dan menikah dengan seorang gadis pesisir kampung itu. Selama empat tahun jadi warga desa dia sudah lancar berbahasa setempat dan di sini ia berteman akrab dengan Lem Cut yang merupakan ketua pemuda desa tersebut.

Mengikuti arahan omelan Lem Cut, Wak John cuma mengangguk-angguk. Memang ia sudah tahu, bahwa bagi mereka ureung bineeh, orang pesisir alias warga yang tinggal di pinggir pantai, yang namanya rumah adalah rumah yang dekorasi interiornya hanya terdiri dari ruang depan, kamar tidur dan dapur. Masalah mandi bagai sudah mentradisi, bahwa kebanyakan mereka, terutama yang laki-laki, mandi di sumur meunasah.

Sedangkan yang perempuan mandi di sekatan-sekatan kecil di samping rumah yang di dalamnya berisi beberapa drum air hasil angkutan dari sumur meunasah juga. Sedangkan untuk perkara buang hajat, ya, WC mereka adalah WC alam dan orang bilang itu WC terpanjang di dunia. Yaitu sepanjang tepi pantai dari muara sungai kuala yang di sebelah kanan sampai ke kuala yang di sebelah kiri, sampai empat kilometer panjangnya.

Sekarang jika ada satu-dua yang kedapatan masih buang air besar di pepasiran, itu pasti anak-anak. Kalau ternyata ada juga kedapatan orang dewasa, nah, itu barangkali hanya sekedar intermezzo sembari mengenang al-kisah masa silam yang penuh kebersahajaan; membuang segala yang tak lagi berguna untuk tubuh sembari kulit merasai usapan lembut desau bayu pagi dan mata mencerap keindahan halusinasi di keluasan laut lepas.

Masih ingat pada senyum pagi dua-enam Desember 2004 tersungging bersama binar nyalang surya di ufuk timur kala itu? Namun siapa menduga jika ia awal gempita lara dukana bagi Aceh yang menurut sebagian para arif sedang dalam hiep, hiep, huerah sebuah serambi Mekkah yang durhaka? Ya, durhaka karena dekadensi moral yang bukan hanya gelutan paramuda namun jua dikunyah-mamah paratua yang rambutnya sudah putih semua.

Dan itu dalam segala lintas wujudnya; judi, pergaulan bebas, pematian antar seteru politik yang tanpa juntrungan pengadilan kendati itu terjadi di ranah bukan peperangan, saling makan tulang sesama dalam riba oleh lembaga-lembaga resmi keuangan, saling minum darah saudara dalam wujud mengkorup dana-dana publik dari atas-atas meja amanah jelata.

Tetapi di sini, di kampung mereka itu, tsunami telah mengubah perilaku buang hajat para warga di sana. Dulu tiap pagi, siang, petang atau malam hari saat perut-perut mereka bergolak meminta segala yang tak lagi berarti di dalamnya untuk dibuang, mereka berhamburan ke tepi pantai di sisi jilatan lidah ombak; mengangkat setengah singkap kain sarung; duduk menempu tumit; dan kain sarung yang tadi sudah setengah singkap dibuat sebagai sekat-sekeliling agar segala yang terlarang untuk terlihat menjadi tak terlihat. Dan, lalu, begitulah.

Usai gelombang raya menerjang dan rumah-rumah mereka dibantu-bangun baru oleh NGO-NGO luar negeri melalui BRR NAD-Nias, mereka menjadi terbiasa untuk tak lagi ber-WC-ria di pepasiran walau pun jelang tak lama kemudian sang pasang naik selalu menghapusnya dan memulangkan pantai ke kondisi steril lagi bagai di sana seakan tak pernah terjadi kisah pembuangan apa-apa. Soalnya, rumah-rumah yang didenah orang-orang luar negeri itu lengkap dengan kamar mandi dan Water Closet-nya sekalian.

“Tetapi sekali-sekali kita boleh saja kembali ke kebiasaan-kebiasaan masa lalu untuk sekedar mengenang dan mencerap inspirasi tertentu yang mungkin timbul di sana. Kenapa tidak?” balas Wak John dengan sangat meyakinkan.

“Jadi menurutmu, John, bagaimana?” tanya Lem Cut dengan ekspresi girang di wajahnya.

“Ya, menurut saya, okey aja. Lagi pula saya pun sedang sakit perut nih.”

“Kalau begitu, yok kita ke pantai,” ajak Lem Cut antusias.

“Yok!” balas John mengikuti arahan Lem.

Dan pagi itu di garis pantai desa tersebut, di bawah temaram pagi usai subuh, orang-orang desa dan para nelayan setempat dapat menyaksikan dengan diam-diam Lem Cut dan Wak John sedang buang hajat di pantai bagai di masa-masa lalu; bagai di komunitas separuh primitif dengan kemampuan rekayasa hasil ketinggian teknologi tenun kain sarung sebagai sekat pelindung. Sigogo ridu keu perilaku masa jameun, ah, beasalah itu![]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.