Di antara rintik-rintik hujan yang mengguyur jalanan Banda Aceh medio Agustus 2011, Je tergeletak di badan jalan ruas kiri. Motor barunya terpelanting sepuluh meter darinya. Orang-orang hanya menonton dari depan pertokoan, seperti menyaksikan pembalap yang terjatuh di sirkuit Moto GP.
Tubuh Je lecet. Untung tak ada mobil di belakang, ceritanya pada kawan suatu hari, sehingga ia tak tergilas (semisal) bus atau truk ketika telentang di badan jalan. Andai saja tergilas, ia barangkali mati. Jika mati, mungkin seorang terdekatnya yang kelahiran Aceh akan berkata, “Untung mati. Kalau setelah itu ia hidup, ia cacat dan tak bisa berbuat apa-apa.”
Orang Aceh sabe untong (selalu untung). Peristiwa di atas hanya contoh kecil. Dalam percakapan sehari-hari, mulut-mulut Aceh akan melontarkan kata “untong” setelah terjadi sesuatu. Padahal sesuatu itu bukan “sesuatu banget” seperti kata penyanyi Syahrini, tetapi sesuatu hal yang telah merugikannya, baik fisik maupun batin. Berikut contoh lainnya.
Minggu 20 November 2011, Timnas Aceh yang telah berlatih sepakbola di Paraguay selama tiga tahun, bermain imbang tanpa gol dengan PPLP Jawa Tengah dalam Turnamen Segitiga Muda di Stadion Lhoong Raya. Penampilannya sangat mengecewakan! Bahkan ada yang menyebutkan, dari prediksi menunjukkan skil sepakbola ala latin malah menampilkan skil ala “lampoh u”, skil lahan kosong. Namun, ada juga yang menyatakan, “untong seri!” Artinya, imbang lebih baik dari kalah.
Ah, dua hari lalu, Abu Pakeh sedikit stres. Pendapatannya dari usaha depot air minum isi ulang sebulan terakhir, defisit (kurang) satu juta. Ia rugi. “Tanyoe manteng untong rugoe sijuta (Kita masih untung ruginya sejuta). Jeh, si Apa Maun, rugeo sampe limong juta (ruginya sampai lima juta). Lelaki tanggung itu masih bersyukur. Walau rugi, ia tetap merasa masih untung.
Kemarin, Ari duduk di kantin dengan tampang gelisah. Je menyapanya. Rupanya Ari sedang tak punya uang. Dan banyak utang belum dilunasi. Karena iba, Je meminjamkannya. “Untong na kah ngon (untung ada kamu kawan),” ucap Ari pada Je setelah diberikan uang tunai.
Tadi pagi, Po Ramlah menjemur dua karung padi sebelum “diberaskan” ke pabrik. Di tengah penjagaan dari serangan mendadak ternak, ia terlelap di teras rumahnya. Ketika mata terbuka, ia mendapati padinya berkurang di satu sudut tikar jemuran. Padinya acak-acakan dimakan ayamnya sendiri. “Untong hana ditoh ujeuen (Untung tidak turun hujan),” katanya bersyukur, namun kesal berat.
Cukup. Anda akan menemukannya sendiri. Setiap hari akan terdengar dari mulut masyarakat Aceh. Maka dari fenomena sosial “orang Aceh selalu untung” ketika ditimpa musibah, itu menunjukkan bahwa orang Aceh punya karakter pensyukur. Syukuri apa adanya, kata d’Massiv dalam lagunya.
Syukuran itu kadang ditunaikan saat musibah tiba atau lama dan tak lama setelah musibah berlangsung. Orang Aceh selalu untung. Mau mati pun untung. Sudah mati pun untung. Sudah rugi pun tetap untung.
“Untong si Gam nyan mate, adak han maken le manok lam gampong tanyoe gadeh. (Untung pria itu mati, kalau tidak akan makin banyak ayam di kampung kita yang hilang),” syukuri seorang kala mendengar kabar kalau seorang pencuri ayam di kampungnya telah meninggal.[]