Singkreuet

“Bismilla hirrahma nirrahim…” Ucap saya sembari memasukkan kedua telapak kaki ke dalam lingkaran singkreuet. Lalu kupanjatlah sebatang di antara sekebun pohon kelapa milik tetangga.

Perjalanan kehidupan telah menambat saya pada pekerjaan sebagai pemetik buah kelapa. Padahal profesi ini tak banyak digeluti orang. Dalam tiga kampung, pemanjat kelapa belum tentu ada satu. Itu karena pekerjaan ini membutuhkan satu persyaratan yang memang susah dimiliki orang pada umumnya, yaitu tidak merasa gamang tatkala berada di ketinggian pohon. Dan saya memiliki ketidakgamangan itu.

Lagi pula mencari nafkah sebagai ureueng ek u (pemanjat kelapa) tidak memerlukan pendidikan tinggi. Saya cuma tamat sekolah dasar. Maka jadilah saya sebagai ureueng ek u.

Memang harus saya akui, bahwa pekerjaan ek u (naik kelapa) tergolong jenis profesi rendahan dalam pandangan masyarakat desa kami. Sebagai bukti, bila seorang ibu mendapati anaknya malas sekolah, si ibu akan menghardik anaknya dengan, “Meunyo beu’o kajak sikula, eunteuk watee rayeuek jeut keu ureung ek u.”

Namun walau begitu, dari pekerjaan itulah saya menjadi sempurna sebagai  penanggungjawab bagi keluargaku. Apalah yang mau saya pikir mengenai yang lain-lainnya, jatah rezeki saya memang sudah di sini.

Dan lihatlah, saya baru usai memanjat beberapa batang kelapa, dan lalu saya melepaskan singkreuet dari telapak kaki disertai nafas yang sedikit tersenggal-senggal pertanda kelelahan.

Menurut pengalaman saya sebagai orang yang biasa bekerja berat, saya baru merasa lelah justru ketika sedang beristirahat begini. Dan sebagai ureueng ek u, kelelahan datang justru ketika singkreuet sudah digantungkan di bahu; bukan lagi di kaki.

Singkreuet adalah pilinan kain rombengan seukuran dua ibu jari, yang kedua ujungnya disambungkan membentuk lingkaran berdiameter sekira 15 centi. Kedua ujung lingkaran tali ini dikaitkan pada kedua telapak kaki. Dan bentangannya dilingkarkan pada batang kelapa yang hendak dipanjati.

Fungsi singkreuet, yang mengklaim setengah lingkaran pohon kelapa, adalah sebagai penahan injakan kaki. Gaya klaim singkreuet atau seuneukreuet bersifat electoral. Makin kuat diinjak, makin erat daya klaimnya pada batang kelapa.

Per batang, ongkos petik buah kelapa Rp5 ribu hingga Rp7 ribu bahkan ada yang sampai Rp10 ribu. Itu menurut tingginya pohon kelapa. Dari standar ongkos dan pekerjaan ini, saya berpenghasilan Rp50 ribu hingga Rp150 ribu per hari.

Dan sebagai pegiat profesi yang langka digeluti orang, jasa saya tidak hanya sering dimintai oleh sebatas orang-orang sekampung, tetapi juga oleh orang-orang dari kampung lain di sekeliling kampung saya. Dari sinilah terkadang saya bisa mencapai pendapatan per hari sampai Rp300 ribu.

Yang namanya rezeki, saya rasa, apa pun profesinya tetap seperti itu. Ya, kadang banyak, kadang sedikit. Yang jelas, banyak atau sedikit, inilah pekerjaan utama saya. Tukang petik buah kelapa.

Oya, sekali lagi mau saya katakan, dan ini untuk membangkitkan semangat kebanggaan di dalam diri saya, bahwa walaupun acap dilirik sebelah mata, profesi ini tak banyak digeluti lantaran menghajat pada satu persyaratan yang memang susah dimiliki orang pada umumnya, yaitu tidak merasa gamang tatkala berada di ketinggian.

Konon kata orang kalau mau jadi pemimpin juga harus memiliki persyaratan itu, yaitu tidak gamang tatkala berada di ketinggian. Jadi, satu persyaratan utama yang harus dimiliki seseorang yang mau dipilih sebagai pemimpin sama dengan syarat yang harus dipunya seorang tukang ek u. Dan satu lagi, jangan buang singkreuet kalau sudah berada di pucuk kelapa.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.