Tawar-Menawar

Tawar-menawar, kebiasaan orang Aceh dalam jual beli apapun. Apalagi kaum ibu: terkadang minta kurang lebih dari setengah harga barang. Sayang penjual ketika pembeli hanya mencari barang berkualitas tinggi tapi berharga murah sekali. Parahnya, setelah tanya semua harga pada penjual, “eh, ujung-ujungnya tak dibeli, nanya doang alias cek harga. Lebay..” kata Je pada Aya suatu kali.

Menjelang bulan puasa Ramadhan, lebaran fitrah dan haji, sebagian pedagang memanfaatkannya untuk meraup laba melimpah. Bak gayung bersambut, pada momen seperti itu pula orang-orang akan memburu pasar. Sepertinya orang Aceh memang banyak duit kalau menjelang hari-hari besar islam. Kiranya, kalau tak ada uang, wajib ngutang demi setidaknya bisa membeli sepaket baju baru untuk anaknya.

Saat-saat seperti itu juga para pemilik toko memasok barang—terutama pakaian—sebanyak-banyaknya dari luar daerah setelah mempertimbangkannya matang-matang. Penjual berani untung atau rugi. Mereka harus melayani pembeli ibarat melayani raja kalau mau beruntung. Jika tidak demikian, kemungkinan sekali sepi pengunjung.

Aya pun ke Pasar Aceh hari ini, bersama emaknya, Po Ramlah yang sengaja datang ke Banda Aceh temani putrinya belanja. Keduanya hendak beli baju baru. Sudah melihat-lihat sampai kuweut (kebas) kaki Po Ramlah, Aya belum juga menemukan baju yang cocok untuknya. Mungkin susah ada baju modis yang pas dengan badannya yang mulai gemuk.

Kini mereka menuju gerai baju lagi, barangkali yang terakhir. Aya jatuh hati pada sehelai baju ceurlop langa (kebaya) warna pink. Emaknya heran. Biasanya Aya tak pernah suka kebaya, melainkan selalu gaun atau baju mini. “Aya ingin mempopulerkan kebaya lagi, Mak,” jelasnya.

Kemudian Aya mencoba kebaya merah jambu itu. “Hah, seratus ribu?” komentar Aya dan emaknya ketika abang penjual menyebutkan harga. “pasnya empat puluh ribu Bang,” sambung Aya sambil senyum semanis mungkin. “Tak bisa, itu harga pas kami tawarkan. Kalau selain untuk Adek, seratus dua puluh ribu kami bilang,” balas abang penjual tak kalah garang. “Kurang lagi lah Bang… Kan berbuat baik nih jelang puasa. Anggap saja sedekah enam puluh ribu lagi. Dapat pahala Bang,” tawar Aya. “Iya. Tapi Adek sedekah juga enam puluh ribu buat kami, kan dapat pahala juga. Sudah dapat pahala beli, pahala ikhlas lagi.”

Aya diam sejenak. Dan berbisik pada emak, “kiban Mak? Meunyo tacok sireutoh, han sep peng ngon bloe beha.” Si emak pun berkata, “hom hai, gata yang pakek.” Ihhh si emak ini. Aya kesal. Dia menimbang-nimbang. Aya menghitung kancing baju. Dimulainya dari atas. Beli, enggak. Beli, enggak. Beli, enggak. Ah, cuma enam kancing, jemarinya pun menyentuh kancing terakhir. “Berarti enggak dong!”

Aya dan emaknya kemudian tinggali toko itu. “Berapa Adek mau, delapan puluh ribu bisa?” ucap abang penjual setengah teriak, sambil melayani pelanggan lain. Aya berlalu pergi. Tak mendengarnya. Huff.

Je tertawa terpingkal-pingkal ketika kemudian hari Aya menceritakan perihal kegagalannya memeroleh kebaya pink. “Dasar bodoh dan pelit,” kata Je pada Aya, namun dalam hatinya saja. “Kenapa tak belanja di kampung aja, jauh hari sebelum hari besar islam,” kata Je. Seperti yang dilakukannya beberapa bulan sebelum Ramadhan: mengantisipasi mahalnya harga pakaian di Banda Aceh, Jailani sengaja pulang ke Sigli untuk beli baju baru, karena harganya lebih murah dan tentu berkualitas. “Itulah,” jawab Aya singkat, kesal.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.