KETIKA perempuan Nanggroe sedang hamil dan ngidam tomat kampung, apa kata pedagang sayur, “Cobalah ke pasar sayur kota, mungkin di sana masih ada yang menjual tomat-kampung. Kalau di pasar kita sudah lama tak kelihatan lagi boh tomat meutu’ah itu.” Sementara dari pedagang sayur di kota, istri kita mendapat keterangan, tomat-kampung sudah lama hilang di pasaran.
Para aktivis dapur acap membagi tomat menjadi dua bagian. Tomat-kampung; ciri buahnya bulat agak pipih dengan tekstur pinggir berunggit-unggit. Tomat buah; bentuknya bulat. Umumnya di pasar kota dan pasar-pasar tradisional, orang menyebut tomat ini dengan tomat-medan. Yang terakhir ini dibagi lagi menjadi tiga bagian. Yang berukuran maksimal disebut tomat-buah; yang berukuran sedang disebut tomat-sayur; sedangkan yang berukuran kecil disebut tomat-ceri.
Kata pedagang sayur, “Sudah tiga tahun saya menjalankan usaha sebagai penampung segala jenis sayur dari para petani, namun belum saya dapati ada petani yang membawa tomat-kampung ke pasar kita ini. Sekarang yang dimaksud dengan buah tomat, ya, tomat-medan.”
Dia bilang, tomat-medan pada awalnya dibawa oleh beberapa agen atau distributor ke pasar setempat. Tomat tersebut berasal dari dataran tinggi Berastagi, Medan, Sumatera Utara. Ketika tomat bulat itu sudah sangat populer di pasar kota bahkan di pasar-pasar tradisional di kecamatan, maka yang dimaksud dengan buah tomat dari mulut ibu-ibu rumah tangga, ya, tomat-medan. “Sejak itu tomat-kampung pelan-pelan hilang dari pasaran.”
Para petani tomat mengaku, “Para pedagang sayur, baik di kota maupun di pasar-pasar kecamatan, tak mau lagi menampung tomat-kampung, karena kalau dalam tiga hari tidak habis laku, barang akan busuk. Sedangkan jenis tomat-medan bisa bertahan lebih satu minggu.”
Memang, kulit tomat-kampung lebih tipis dibandingkan kulit tomat-medan. Maka demikianlah, ketika dua komoditi-sama-fungsi dihadapkan pada pedagang, tentu sang penganut-hukum-laba ini lebih memilih komoditi yang lebih banyak memberikan kontribusi atau keuntungan.
Dan komoditi berlaba banyak dengan sendirinya akan populer di tengah masyarakat konsumen. Sementara komoditi yang susah diurus dengan tingkat kemungkinan laba yang lebih sedikit, akan ditinggalkan pedagang. Bahkan yang terakhir ini bisa-bisa lenyap sampai ke akar-akarnya dari percaturan pasar dan pembudidayaan.
Tapi mari kenali satu hal ini, bahwa bila kelak suatu hari tomat-kampung yang merupakan salah satu spacies solanaceae ini hilang dari dunia sayur-mayur khas kampong kita, maka pedagang sayur ikut bertanggungjawab. Gara-gara mereka enggan menampung, petani pun malas menanam.
Kenali thesis ini, bahwa bila KPK suka bikin droup nafsu makan para koruptor, para pedagang demikian berkuasanya menaik-turunkan nafsu konsumtif para pemilik duit banyak. Bahkan mereka demikian “berwenang” melenyap-timbulkan suatu komoditas tradisional di pasar tradisional itu sendiri. Seperti kasus tomat-kampung yang nyaris hilang dari memori-kecapan lidah pedesaan lantaran pengecer setempat lebih suka menampung tomat “orang”. Demikianlah tirani pasar dengan pedagang sebagai caudillos-nya.
“Padahal,” kata istri-istri kita, “tomat-kampung rasanya lebih enak dibandingkan tomat-medan. Tomat-kampung lebih berasa. Sedangkan tomat-medan rasanya hambar, hik-hik-hik, ehm…!”
Kata-kata di atas, yang walaupun agak sembunyi-sembunyi namun lewat ruh-bahasa dan logatnya dapat terdeteksi, para perempuan Nanggroe sedang hamil muda dan saat ini tengah mengidam makan sayur dengan campuran tomat-kampung sebagaimana yang sering mereka konsumsi puluhan tahun lalu ketika mereka masih makan dari hasil masakan ibu dan nenek kita. Tomat-kampung, kami tak mau engkau menabik selamat tinggal. Tak mau.[]
One thought on “Tomat Kampung”