KEPALA sekolah di gampongku pusing tujuh keliling manakala mengingat nilai ujian Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolahnya selalu drop saat UN. Maka itu ia telah membuat strategi jitu untuk menaikkan prestasi siswa-siswanya. Setiap guru yang diangkat terpaksa diganti setiap 100 hari karena mereka tak mampu mencapai target yang dibuatnya.
Salah satunya adalah si Muktar Alibasyah anak Pak Samsul yang baru lulus sarjana. Darah mudanya begitu menggebu-gebu, seperti saat masih jadi aktivis di kampus, ia berorasi di depan kepala sekolah. Targetnya tak tanggung-tanggung, selama 100 hari ia akan buat anak-anak sekolah itu bisa menguasai 100 peribahasa, 100 istilah asing yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia, penguasaan sintaksis 100 persen sampai penguasaan terhadap segala jenis paragraf.
Namun setelah seratus hari, anak-anak diuji kepala sekolah dengan menyodorkan sampel soal ujian tahun lalu. Ternyata hasilnya nol besar. Kepala sekolah marah besar, para siswa dijemurnya di bawah tiang bendera. Setelah hukuman usai, giliran pak guru muda Muktar Alibasyah yang diserang siswa. Saat ia masuk kelas, siswa sudah lengkap dengan poster-poster dari karton, mereka berunjuk rasa dan meminta sang guru mengundurkan diri sebagai guru bahasa dan sastra.“Bapak telah gagal membuat kami pintar dalam 100 hari” tulis mereka di poster karton itu. Tentu saja Muktar Alibasyah pun lenser. Kepala sekolah kalang kabut mencari guru pengganti, dari guru senior sampai guru muda sudah dicobanya, tapi tak ada yang bisa buat siswa-siswanya pintar dalam 100 hari. Ia pun banting stir dan memintaku tuk jadi guru bahasa menggantikan Muktar Alibasyah. Entah apa alasannya.
“Pak Suib, ia adalah guru teladan segampong kita, tapi gagal membuat siswaku pintar selama 100 hari. Zakaria, apa kurangnya dia, berulang kali ia mendapat piagam karena kepintarannya, sampai terakhir si Muktar yang masih muda belia dan sudah mampu mengarang buku juga gaga.” Kepala sekolah berkeluh kesah.
“Kalau begitu apalagi aku, pak, pasti aku tak mampu. Ilmuku tak banyak. Pengalaman pun kurang”
“Kupikir, kalau kita sudah leuge makan daging waktu mak meugang, cobalah kuah bening dan ikan asin,” ujar kepala sekolah sambil melirik ke arahku.
Gila, Pak Kepsek menganggapku ikan asin. Tapi tak apalah, aku coba saja, siapa tahu siswa-siswa lebih suka ikan asin.
Ini adalah hari pertamaku sebagai guru khusus untuk mempersiapkan siswa menuju UN. Seperti guru-guru lainnya yang telah diberentikan dari tugas ini aku pun menyiapkan target yang harus dicapai selama 100 hari. Tak muluk-muluk, targetku siswa harus mampu menguasai lima peribahasa, sepuluh kata serapan, dan pengertian fungsi S, P, O, Pel, dan K.
Setelah seratus hari, siswa kembali disuguhkan dengan sampel UN yang lain lagi, hasilnya nol besar, mereka sama sekali tak bisa menjawab. Sudah bisa ditebak aku pun didemo habis-habisan oleh siswa karena gara-gara kegagalanku buat mereka pintar, habis mereka dijemur kepsek sampai keriting.
“Bapak bahkan lebih buruk dari Pak Muktar Alibasyah.”
“Kutanya pada kalian, mana targetku yang tak tercapai,” tanyaku pada mereka.
Lalu aku meminta mereka menjawab pertanyaanku diselembar kertas, itulah target yang pernah kujanjikan dulu dan hampir seratus persen mereka bisa menjawab.
“Jadi, dimana letak kegagalanku?” tanyaku sekali lagi, mereka saling pandang.
“Kami tak bisa menjawab soal yang diberikan Pak Kepsek.”
“Tentu saja, semua materi dalam soal itu harus dipelajari selama tiga tahun ditambah les enam bulan. Sedang aku baru berdiri dihadapan kalian selama 100 hari. ”[]